Sesajen Adalah Sastra Para Leluhur Untuk Menjalin Cinta Dengan Alam

Sesajen Adalah Sastra Para Leluhur Untuk Menjalin Cinta Dengan Alam
12-Jan-2022 | sorotnuswantoro indonesia

Saya pernah mengikuti ritual Mimiti, yakni upacara sembelum petani memanen padi. Disana ada banyak sekali "ubo rampai" yang dijadikan sesaji. Ada bedak dan alat kecantikan, mulai dari sisir, pupur, cermin, dan lain sebagainya. Para petani itu seolah sedang mempersembahkan berbagai keperluan bagi seorang wanita untuk merias atau berdandan.

Ternyata ritual itu ada kaitannya dengan para leluhur yang mempersonifikasikan tanaman Padi sebagai sesosok wanita cantik bernama Dewi Sri. Orang jawa memang telah membangun pola komunikasi dan interaksi dengan alam dengan cara memperlakukannya sebagai sesama makhluk hidup. Alam diposisikan sebagai saudara yang hidup berdampingan. Maka leluhur Jawa selalu memberi nama kepada semua unsur alam sebagaiamana layakanya manusia. Termasuk kepada Padi.

Alam tidak sekedar diletakan sebagai obyek yang mati, tapi subyek yang hidup. Untuk menebang pohon saja, orang jawa memiliki adab atau etika tertentu. Etika itu secara sederhana diistilahkan "nembung". Semacam sikap "kula nuwun" atau permisi.

Dengan memposisikan alam sebagai sesama makhluk yang hidup, maka manusia menjadi tersambung secara batin. Konsep berpikir seperti itu akan membuat manusia dan alam saling berempati. Manusia tak akan tega menyakiti alam. Bahkan bisa saling berdialog.

Saya jadi ingat ketika Rasulullah SAW berdialog dengan Gunung Uhud. Nabi dan gunung saling mengerti satu sama lain.

Sesaji berupa alat kecantikan dalam ritus Mimiti sebelum memanen Padi adalah semacam manifestasi bahasa batin orang jawa agar Dewi Sri bersolek. Wujud dari Dewi Sri yang telah cantik bersolek adalah padi yang bagus.

Jadi sesajen itu hanya merupakan bahasa penegas dalam komunikasi antara manusia dan Padi. Bukan sedang memberi makan Jin atau makhluk halus.

Sesajen adalah sastra para leluhur ketika sedang menjalin cinta dengan alam.

Tags