Moralitas Dan Ilmu Rasa Dalam Kepemimpinan Nusantara

Moralitas Dan Ilmu Rasa Dalam Kepemimpinan Nusantara
17-Feb-2020 | sorotnuswantoro indonesia

Moralitas dan Ilmu Rasa dalam Kepemimpinan Nusantara

Ilmu rasa dalam kepemimpinan di Nusantara amat diperlukan. “Rasa” itu sebuah dilosofi hidup yang halus. Jika rasa ini dikembangkan, para pimpinan akan mampu menyelami rasa yang dimiliki bawahan, memaparkan panjang lebar bahwa ngilmu rasa itu tidak lain merupakan raos gesang, artinya rasa hidup. Rasa hidup itu ditandai dengan bergerak dna berubah. Pimpinan yang menguasai raos gesang, akan berusaha agar mampu mengubah keadaan. Ilmu rasa akan dapat membangkitkan kerja pimpinan semakin percaya diri.

Rasa yang paling utama dalam kepemimpinan yaitu:

1) Bisa rumangsa dan bukan rumangsa bisa, artinya pimpinan tidak merasa mampu apa saja. Filosofi ini sering membuat orang terlalu percaya diri, namun jika terlalu berlebihan akan menjadi sombong. Jika rasa ini dapat dikelola, pemimpin akan mampu bersikap rendah hati

(2) Angrasa wani, artinya pimpinan yang berani menghadapi resiko apa pun yang dibebankan (diamanahkan). Pimpinan yang tidak berani mengambil resiko, biasanya lamban dalam mengambil keputusan

(3) Angrasa kleru lan bener tur pener. Artinya, pimpinan yang baik adalah mampu menyadari bila keliru dalam berbuat. Begitu sebaliknya, pimpinan yang baik tentu dapat merasa bahwa yang dilakukan itu benar dan tepat. Keputusan yang baik, selain harus sesuai aturan juga tepat.
Falsafah rasa banyak terkait dengan pribadi seseorang. Rasa dapat memmbingkai kejiwaan pimpinan. Orang yang rasa Nusantaranya tinggi, tentu tidak akan keras kepala dalam memimpin.

Filosofi kepemimpinan Nusantara terkait dengan kepribadian orang Nusantara. Falsafah hidup yang dipegang para pimpinan selalu menunjukkan kekhususan.

Orang nusantara memang memiliki tradisi yang melingkupi jagad kepemimpinan. Rasa selalu membekali orang Nusantara ketika memutuskan sesuatu. Pimpinan jelas akan mengambil putusan apa saja. Kepemimpinan orang Nusantara itu memiliki kekhasan. Biarpun ada yang tidak sependapat kalau kepemimpinan Nusantara itu memiliki sifat halus, penuh hati-hati, dan tidak mau konflik, realitasnya memang demikian.

Orang Nusantara memimpin tidak hanya dengan pikiran, tetapi memanfaatkan rasa. Kepemimpinan Jawa jelas banyak mengolah rasa. Rasa itulah ruh budaya Nusantara. Pemimpin Nusantara tentu memegang teguh budayanya. Banyak generasi muda sekarang tidak memahami budayanya.
Dalam era globalisasi sekarang ini bahasa Inggris boleh saja dipelajari, tetapi bahasa, budaya, dan filosofi Nusantara tetap perlu didalami agar tidak hilang ditelan zaman.

Salam sih katresnan,
Pangeran Karyonagoro

Tags