Dari Lereng Panawaren Menuju Panggung Bahasa Ibu Banjarnegara: Ketulusan Guru Yang Menyalakan Asa Anak Negeri

Dari lereng perbukitan Panawaren yang sejuk dan terpencil, semangat literasi dan cinta bahasa daerah berkobar terang. SD Negeri 2 Panawaren menorehkan prestasi membanggakan dalam ajang Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Tahun 2025, membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti berprestasi.
Meski berada jauh dari pusat kota dan memiliki fasilitas yang sangat terbatas, sekolah ini berhasil menunjukkan kualitas luar biasa. Dalam FTBI tingkat kecamatan yang digelar pada 23 September 2025, para peserta didik binaan Ibu Endang Puspitorini, guru kelas sekaligus pendamping utama, berhasil menorehkan prestasi di enam cabang lomba sekaligus. Hasilnya sungguh gemilang:
- Juara 1 Geguritan Putri
- Harapan 1 Mocopat Putra
- Harapan 1 Ndagel Putri
- Harapan 1 Ndagel Putra
- Harapan 3 Sesorah Putri
Dari ajang tersebut, satu peserta berhasil melaju ke tingkat Kabupaten Banjarnegara dan kembali membawa harum nama sekolah dengan meraih Juara 3 FTBI Kabupaten Banjarnegara, yang diselenggarakan pada 6 Oktober 2025.
Perjalanan dari Lereng, Langkah Kecil Menuju Capaian Besar
Pencapaian ini bukan hasil yang datang secara instan. Di balik prestasi itu terdapat perjuangan panjang dan kerja keras seorang guru yang mengabdikan diri dengan sepenuh hati. Endang Puspitorini, sosok perempuan tangguh sekaligus pendidik berdedikasi, telah menanamkan nilai-nilai cinta bahasa, budaya, dan tanggung jawab pada anak didiknya sejak dini.
Ia tidak sekadar melatih untuk lomba, tetapi juga menanamkan makna mendalam bahwa bahasa ibu adalah jati diri bangsa. Proses pembinaan dilakukan tidak hanya di lingkungan sekolah, melainkan juga di Rumah Literasi Edukasi Sedekah Ilmu Pondok Baca Puspita — sebuah ruang belajar sederhana yang ia dirikan secara mandiri di rumahnya. Tempat ini menjadi oase literasi bagi anak-anak di lereng Panawaren, di mana mereka belajar geguritan, mocopat, ndagel, hingga sesorah dengan penuh semangat.
Dedikasi yang Menembus Batas Keterbatasan
Di tengah medan yang berat dan jarak tempuh yang jauh, Ibu Endang menjalankan peran ganda: sebagai guru, pelatih, sekaligus penggerak komunitas belajar. Ia bahkan rela menjemput dan mengantar anak-anak dari rumah ke tempat latihan, agar mereka tidak kehilangan kesempatan belajar hanya karena faktor jarak.
Menariknya, seluruh kegiatan pembinaan ini dilakukan tanpa biaya sepeser pun. Semua dilandasi oleh niat tulus dan cinta terhadap dunia pendidikan. Ia meyakini bahwa pendidikan sejati lahir bukan dari kemewahan fasilitas, melainkan dari ketulusan hati dan komitmen untuk menyalakan cahaya pengetahuan di tengah keterbatasan.
Pernyataan Endang Puspitorini: “Menjadi Guru Berarti Hadir Sepenuh Jiwa”
Dalam wawancaranya, Ibu Endang mengungkapkan filosofi hidup dan pendidikannya yang menyentuh.
“Dari lereng Panawaren, saya belajar bahwa makna kehadiran seorang guru tidak diukur dari fasilitas yang tersedia, tetapi dari seberapa dalam ia hadir dalam kehidupan murid dan komunitasnya. Mengajar bagi saya bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi tentang menyalakan cahaya harapan. Saya ingin anak-anak percaya bahwa meski tinggal jauh di pelosok, mereka tetap bisa berprestasi dan berkontribusi untuk daerahnya.”
Lebih lanjut, beliau menambahkan:
“Saya tidak ingin anak-anak di desa merasa tertinggal hanya karena keadaan. Setiap sore, kami berlatih bersama di Pondok Baca. Saya ajak mereka mengenal bahasa ibu, menulis geguritan, dan berani tampil di depan publik. Ketika mereka mulai percaya diri, di situlah kebahagiaan seorang guru terasa nyata.”
Pernyataan tersebut menggambarkan keteguhan prinsip seorang pendidik yang memahami bahwa pendidikan sejati adalah tentang kehadiran yang bermakna, bukan sekadar rutinitas mengajar.
Menumbuhkan Kecintaan pada Bahasa Ibu
Upaya Ibu Endang sejalan dengan semangat pemerintah dalam pelestarian bahasa daerah melalui FTBI. Ia memandang kegiatan ini bukan hanya lomba, tetapi gerakan nyata menjaga warisan budaya bangsa. Dengan bimbingan intensif, para peserta didiknya tidak hanya mampu menulis dan menampilkan karya, tetapi juga memahami nilai-nilai luhur di balik setiap tembang dan tutur.
“Bahasa ibu adalah napas budaya. Jika kita abai, maka generasi berikutnya akan kehilangan akar. Karena itu, saya ingin anak-anak Panawaren bangga berbicara dan berkarya dengan bahasa daerahnya sendiri,” ujarnya penuh keyakinan.
Dari Panawaren untuk Indonesia
Kisah perjuangan SD Negeri 2 Panawaren ini menjadi teladan nyata tentang bagaimana semangat pendidikan bisa tumbuh subur meski di tengah keterbatasan. Dedikasi seorang guru seperti Endang Puspitorini membuktikan bahwa pendidikan berkualitas tidak hanya lahir di kota besar, tetapi juga bisa tumbuh dari desa yang sederhana.
Dari ruang kelas kecil di lereng pegunungan, lahir generasi muda yang berani tampil dan bangga dengan identitas budayanya. Mereka belajar bukan sekadar untuk menang, melainkan untuk mencintai warisan leluhur mereka sendiri.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa setiap guru memiliki kekuatan untuk mengubah masa depan, sekecil apa pun ruang yang dimilikinya. Dan dari Panawaren yang jauh, cahaya pendidikan itu kini menyala terang, menerangi jalan bagi anak-anak desa menuju panggung kebanggaan bangsa.