Debitur Meninggal Dunia, Asuransi Kridit Bank Bpd Belum Dapat Di Klaim, Bank Mengancam Akan Melelang

Istri debitur Bank BPD yang meninggal dunia merasa tertekan oleh kreditur, kondisi istri almarhum dalam keadaan hamil tua yang beresiko jika mental dan psikisnya tertekan. Kreditur yang beberapakali mendatangi rumah istri almarhum dan menagih melalui telpon yang mengancam mau melelang jaminan membuat keluarga istri almarhum resah.
Yuli istri almarhum mengungkapkan, "suami saya merupakan karyawan RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata yang memiliki pinjaman di bank BPD namun saya tidak tahu musibah terjadi suami saya meninggal dunia dan saat ini saya dalam keadaan hamil dan di tinggali dua anak kecil dan satu anak masih di dalam kandungan".ungkapnya
Yuli menambahkan, "beberapa kali pihak bank datang ke rumah saya untuk meminta angsuran namun apalah daya saya hanya dapat merenungi nasib, saya belum dapat ngangsur karna kondisi seperti ini dan saya bingung ada asurasi namun masih di tagih dan di ancam agunan mau di lelang".tambahnya
Saat awak media kami mendapatkan keterangan dari istri almarhum awak media kami berupaya melakukan konfirmasi kepihak bank BPD kabupaten Purbalingga.
Melalui komunikasi telpon Riski Karyawan Bank BPD Purbalingga mengungkapkan, "asuransi kridit almarhum debitur Yuliono memang benar adanya namun dapat di cover hanya 25% sampai 40%, asuransi kridit dapat di klaim setelah macet dengan kriteria kol tiga atau lebih dari 120 hari".ungkapnya
Rizki menambahkan dengan sedikit menantang awak media kami, "bulan ini harus masuk kalo tidak di angsur saya harus jual asetnya, saya akan jalankan sesuai prosedur akan lari ke aset untuk di lelang dan silahkan jika mau buat surat terbuka ke OJK".tambahnya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap sejumlah poin peraturan yang akan diatur di dalam Rencana Peraturan OJK (RPOJK) terkait asuransi kredit.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan regulator akan mengeluarkan POJK mengenai asuransi kredit sebagai pengganti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 124/PMK.010/2008 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship.
Adapun, beberapa pokok peraturan yang akan diatur dalam POJK asuransi kredit salah satunya adalah adanya pembagian risiko (risk sharing) dari bank dan perusahaan asuransi.
“Di mana, bank menanggung risiko tidak 100% dialihkan kepada asuransi, tapi hanya 75%. Artinya, bank masih tetap bertanggung jawab terhadap 25%,” kata Ogi dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan Oktober 2023 secara virtual, Senin (30/10/2023).
Selain pembagian risiko, OJK juga memasukkan penerapan subrogasi yang lebih baik ke dalam POJK asuransi kredit. Diikuti dengan biaya akuisisi yang kini dibatasi hanya maksimum 10% dari sebelumnya 20%.
“Kemudian, jangka waktu pertanggungan juga kami batasi hanya 5 tahun. Meski kredit yang di pertanggungan jangka waktunya lebih dari 5 tahun, tapi jangka waktu yang ditanggung oleh perusahaan asuransi maksimum 5 tahun,” sambungnya.
Ogi menuturkan untuk asuransi umum tidak diperkenankan memberikan pertanggungan terhadap asuransi jiwa. Dengan demikian, asuransi jiwa hanya dilakukan oleh perusahaan asuransi jiwa.
POJK asuransi kredit juga mengatur klaim yang diajukan bank kepada perusahaan asuransi merupakan klaim yang benar-benar sudah dalam kategori macet.
“Jadi kalau masih dalam NPL, itu belum bisa diklaim, kondisinya harus dalam keadaan macet,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan menuturkan untuk POJK asuransi kredit, porsi pembagian risiko akan dibagi menjadi 25% untuk perbankan dan sisanya ditanggung perusahaan asuransi.
Budi menyampaikan salah satu poin yang ada di tubuh POJK asuransi kredit adalah rate premi asuransi yang diperbaiki. Alhasil, ujar Budi, premi asuransi kredit akan mendaki.
“Porsinya [risk sharing] kalau nggak salah 25% [perbankan] termasuk besaran peningkatan modal, kalau nggak salah, ya,” ujar Budi.
Budi mengatakan bahwa untuk meyakinkan pihak perbankan merupakan persoalan baru dalam membagi risiko asuransi kredit.
“Karena meyakinkan pihak perbankan adalah persoalan baru lagi, kebiasaan baru apakah mereka siap atau enggak, walaupun satu payung di OJK,” tutup Budi (di kutip dari bisnis.com)