Smpn 1 Kutasari Patok Iuran Rp300 Ribu, Dugaan Pungli Menguat Meski Sekolah Sudah Terdukung Dana Bos

Dunia pendidikan di Kabupaten Purbalingga kembali tercoreng. Dugaan praktik pungutan liar (pungli) menyeruak dari lingkungan SMP Negeri 1 Kutasari, Kecamatan Kutasari.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, hampir seluruh wali murid dimintai sejumlah uang dengan nominal yang sudah ditentukan pihak sekolah dan komite sebesar Rp300 ribu per siswa, dengan dalih untuk membayar guru honorer, pengadaan laptop guru honorer, tagihan air, perawatan sekolah, hingga biaya ujian dan kelulusan kelas IX.
Sejumlah wali murid mengaku tidak memiliki ruang untuk menyampaikan keberatan dalam rapat komite yang digelar beberapa waktu lalu.
"Kami sempat minta agar bisa dikurangi jadi Rp200 ribu, tapi pihak sekolah dan komite menolak. Katanya sudah keputusan bersama. Padahal hampir semua wali murid merasa keberatan," ujar salah satu wali murid yang hadir, Senin (06/10).
Wali murid lain menyebut, sekolah SMPN lain tidak ada pungutan seperti itu, apalagi mekanisme tersebut jelas tidak mencerminkan sumbangan sukarela sebagaimana diatur dalam peraturan pendidikan nasional.
"Saya sudah bertanya ke wali murid SMPN sebelah, katanya tidak ada pungutan seperti ini. Yang namanya sumbangan ya sukarela, bukan dipatok. Tapi ini seperti kewajiban. Yang tidak bayar malu, karena seolah diwajibkan. Padahal sekolah negeri sudah dapat dana BOS," ungkapnya.
Padahal, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan program pemerintah pusat yang sudah mengcover seluruh kebutuhan dasar sekolah negeri, mulai dari pembayaran honor guru non-ASN, pembelian sarana pembelajaran, hingga pemeliharaan fasilitas sekolah.
Artinya, alasan penggalangan dana oleh pihak sekolah dan komite tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Langkah pihak sekolah dan komite ini dinilai berpotensi melanggar sejumlah regulasi penting, antara lain:
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 11 dan 12, yang menegaskan hak peserta didik atas pendidikan tanpa diskriminasi dan pembiayaan bagi yang tidak mampu.
Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang melarang komite memungut dana dari wali murid, kecuali dalam bentuk sumbangan sukarela tanpa penetapan nominal dan waktu tertentu.
Permendikbud No. 44 Tahun 2012, yang melarang sekolah negeri melakukan pungutan dalam bentuk apa pun.
Inpres No. 9 Tahun 2016, yang menyebut setiap pungutan tanpa dasar hukum sah tergolong pungutan liar.
Pasal 368 dan 423 KUHP, yang dapat menjerat pihak-pihak yang melakukan pemaksaan atau penyalahgunaan jabatan untuk menarik uang dari masyarakat.
Namun, setelah dikonfirmasi, Kepala Sekolah SMPN 1 Kutasari membantah adanya pungutan yang ditetapkan oleh pihak sekolah. Ia menegaskan tidak mengetahui jika komite sekolah mengambil langkah seperti itu.
"Saya tidak tahu kalau komite menetapkan iuran seperti itu. Sekolah tidak pernah memutuskan atau mengarahkan besaran tertentu," ujar Kepala Sekolah saat dikonfirmasi wartawan.
Meski demikian, Kepala Sekolah juga membenarkan adanya kebutuhan tambahan pembiayaan di sekolah, seperti pembayaran guru honorer dan guru panggilan, perawatan gedung sekolah, tagihan air, serta kebutuhan ujian siswa kelas IX.
"Kami memang ada kebutuhan operasional yang tidak tercover sepenuhnya dari dana BOS, seperti tambahan untuk guru honorer, air, dan perawatan sekolah. Tapi kalau soal nominal yang ditentukan, kami tidak pernah menetapkan," imbuhnya.
Sementara itu, berdasarkan keterangan salah satu wali murid kelas VII, sudah ada yang membayar Rp150 ribu, sedangkan rapat komite kelas VIII disebut mematok Rp300 ribu dengan kesan seolah-olah keputusan tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama, padahal tidak memberi ruang kepada wali murid untuk menolak atau berpendapat.
Melihat kondisi tersebut, publik menilai dugaan pungli di SMPN 1 Kutasari tidak cukup diselesaikan dengan klarifikasi internal, tetapi perlu diselidiki oleh Tim Saber Pungli dan Unit Tipikor Polres Purbalingga.
Langkah tegas dari aparat penegak hukum dinilai penting untuk memberikan efek jera agar praktik serupa tidak terus berulang di sekolah negeri lainnya.
Kasus ini sekaligus menjadi tamparan keras bagi semangat pendidikan gratis yang dijamin undang-undang.
Ketika sekolah negeri yang sudah menerima dana BOS masih memberlakukan sumbangan wajib dengan nominal tertentu, wajar jika publik bertanya:
Apakah pendidikan masih menjadi hak rakyat, atau telah berubah menjadi lahan pungutan terselubung atas nama komite?
Kini, Hingga berita ini diturunkan setelah awak media melakukan konfirmasi kepada pihak sekolah, redaksi Sorot Nuswantoro akan konfirmasi hasil temuan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga serta Unit Tipikor Polres Purbalingga guna memastikan kejelasan dan kebenaran terkait dugaan pungutan yang terjadi di lingkungan sekolah tersebut.
Hasil konfirmasi dari kedua instansi tersebut akan menjadi bahan pemberitaan lanjutan guna memberikan informasi yang berimbang serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan di Kabupaten Purbalingga.