Bonus Produksi Panas Bumi Dieng: Antara Harapan Desa, Ketimpangan Alokasi, Dan Ujian Keadilan Fiskal Daerah

Bonus Produksi Panas Bumi Dieng: Antara Harapan Desa, Ketimpangan Alok
22-Oct-2025 | sorotnuswantoro Wonosobo

Pemerintah Kabupaten Wonosobo memastikan akan segera memproses penyusunan Peraturan Bupati (Perbup) sebagai dasar hukum pengalokasian bonus produksi panas bumi bagi desa-desa terdampak proyek panas bumi Dieng. Langkah ini menjadi harapan baru bagi masyarakat lereng Dieng yang selama bertahun-tahun menunggu keadilan fiskal dari sumber energi panas bumi di wilayahnya.


Formulasi Perbup Bonus Produksi Panas Bumi

Asisten II Sekda Kabupaten Wonosobo, Kristijadi, menjelaskan bahwa penyusunan Perbup ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan dalam Permendagri Nomor 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2026, yang menjadi acuan penganggaran di daerah.

Ia menegaskan, meskipun regulasi tersebut tidak secara eksplisit mengamanatkan alokasi khusus untuk bonus produksi panas bumi, pemerintah daerah tetap berkomitmen untuk menyiapkan skema yang berpihak pada desa-desa terdampak.

“Secara keseluruhan keuangan daerah tahun ini mengalami penurunan karena adanya efisiensi di berbagai sektor. Namun desa-desa di sekitar proyek panas bumi tetap membutuhkan tambahan pendapatan. Oleh sebab itu, bonus produksi harus diformulasikan porsinya dalam Perbup,” ujar Kristijadi saat ditemui di ruang rapat koordinasi, Senin (21/10/2025).

Ia menuturkan, desa terdampak langsung antara lain Kondosopo, Gieng, Sembungan, dan Sikunang, dengan karakteristik dan tingkat dampak yang berbeda. Desa Sikunang menjadi wilayah dengan pemanfaatan lahan paling luas, mencapai 10 hektare lebih dari total area proyek.

“Dana ini tidak diberikan begitu saja. Harus ada temanya, bersifat tematik, bisa untuk program penanganan stunting, pengentasan kemiskinan, rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH), atau penanganan anak tidak sekolah,” tambahnya.

Kristijadi menegaskan bahwa usulan Perbup mulai dibahas sejak sekarang, namun proses formal baru bisa dilakukan pada tahun anggaran 2026, karena batas waktu penyusunan APBD 2025 telah berakhir.
Total bonus produksi panas bumi tahun 2025 mencapai Rp519 juta, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya sekitar Rp300 juta. Meski demikian, jumlah tersebut masih jauh di bawah Kabupaten Banjarnegara yang menerima lebih dari satu setengah kali lipat.

“Padahal dapur produksinya ada di Sikunang, sementara power plant-nya memang di Banjarnegara. Artinya secara keadilan, porsi itu mestinya dihitung ulang,” ungkapnya.


Suara dari Lereng Dieng: Desa Menanti Keadilan Energi

Di sela kabut tebal pegunungan Dieng, Kepala Desa Sikunang, Nur Amin, menyampaikan harapan agar bonus produksi panas bumi dapat menjadi energi baru untuk pembangunan desa. Ia menuturkan, masyarakat baru benar-benar memahami istilah dana bagi hasil produksi sejak tahun 2022.

“Kalau dana bagi hasil panas bumi itu sudah lama, mungkin sejak 2010. Tapi kami tahu soal dana bagi hasil produksi baru sejak 2022. Waktu itu penjelasannya belum rinci. Ternyata ada hak untuk desa-desa terdampak,” kata Nur Amin.

Sejak itu, ia bersama perangkat desa terus berdiskusi dengan pemerintah daerah, akademisi, dan mahasiswa untuk mempercepat pembentukan Perbup. Bahkan sejak April lalu, pihaknya sudah menjalin komunikasi intensif dengan Pemkab Wonosobo dan juga mempelajari kebijakan di Kabupaten Banjarnegara yang sudah lebih dahulu memiliki Perbup bonus produksi sejak 2022.

“Harapan kami, baik di 2025 maupun 2026, bisa direalisasikan. Kalau daerah lain bisa, seharusnya kita juga bisa. Ini hak masyarakat,” ujarnya tegas.

Selain mengurus bonus produksi, Desa Sikunang juga terus mengembangkan program pengelolaan lingkungan. Bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Pekerjaan Umum (DPU), dan PT Geodipa Energi, mereka menyiapkan lokasi penampungan sampah terpadu untuk mendukung kebersihan kawasan wisata.

“Kami juga bekerja sama dalam CSR dan Komdes Geodipa. Tapi dana bonus produksi ini di luar CSR, dan akan sangat membantu untuk kebutuhan dasar masyarakat,” tambahnya.

Mengenai isu pemindahan Power Plant 2 ke kawasan Rosti Kuning, Nur Amin menegaskan bahwa masyarakat mendukung selama perhitungan lingkungan dilakukan secara matang.

“Teknologinya sudah diperhitungkan, dan justru bisa membuka lapangan kerja baru. Kami terbuka. Asal masyarakat juga mendapatkan manfaat nyata,” katanya.


Advokasi Masyarakat dan Politik Anggaran

Dari sisi masyarakat sipil, Astin, pendamping komunitas edukatif yang terlibat dalam advokasi kebijakan bonus produksi panas bumi, mengungkap proses panjang yang telah ditempuh.

“Kami berproses hampir enam bulan. Sudah audiensi dengan DPRD, Bupati, hingga ke BPKAD. Bahkan Bupati sudah memberi nota dinas kepada Sekda, artinya mendukung penuh,” ungkapnya.

Astin menjelaskan, tantangan utama ada pada politik anggaran dan kerumitan birokrasi. Meski undang-undang sudah lama mewajibkan pemberian bonus produksi untuk desa terdampak, implementasinya sering tertunda oleh proses administratif.

“Bonus produksi ini hak masyarakat. Kami ingin minimal 60 persen dari total alokasi masuk ke desa terdampak. Itu bukan kebijakan opsional, tapi mandat hukum,” tegasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya prinsip partisipatif dalam pengelolaan dana tersebut.

“Proses ini tidak boleh meninggalkan tiga kaidah utama: partisipasi masyarakat, akuntabilitas, dan keberpihakan. Desa harus terlibat aktif dalam menentukan peruntukan dana, bukan hanya kepala desa atau perangkat,” ujarnya.

Astin menambahkan bahwa advokasi tidak akan berhenti sampai Perbup ditetapkan. Pendampingan akan terus dilakukan hingga mekanisme di tingkat desa berjalan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.


Ujian Keadilan dan Kemandirian Daerah

Perbedaan alokasi antara Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo menjadi refleksi penting tentang keadilan fiskal dalam pengelolaan sumber daya energi nasional. Meskipun proses penetapan dana bersifat mandatori dari kementerian, pemerintah daerah tetap memiliki ruang untuk memperjuangkan formula yang lebih adil melalui pendekatan data dan argumentasi yang kuat.

Kristijadi menegaskan, koordinasi dengan pihak Geodipa dan Kementerian Keuangan akan terus dilakukan agar proporsi penerimaan bisa dikaji ulang.

“Kami akan terus diskusi dengan Geodipa dan juga dengan Banjarnegara. Harapannya ada penyesuaian yang lebih proporsional ke depan,” katanya.

Bagi masyarakat di desa-desa sekitar proyek panas bumi — seperti Sikunang, Sembungan, Gieng, dan Kondosopo — bonus produksi bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Ia adalah simbol pengakuan, kompensasi, dan keadilan atas dampak yang mereka rasakan selama puluhan tahun.

Penyusunan Peraturan Bupati Bonus Produksi Panas Bumi 2026 menjadi tonggak penting bagi Kabupaten Wonosobo untuk menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat terdampak proyek energi nasional.

Di tengah fluktuasi pendapatan daerah, proses ini menjadi ujian sejauh mana pemerintah mampu menghadirkan keadilan ekologis dan kesejahteraan lokal secara nyata.
Jika berhasil diformulasikan dengan partisipatif, akuntabel, dan transparan, maka panas bumi Dieng tak hanya menggerakkan turbin listrik — tetapi juga menyalakan harapan baru bagi warga lereng yang selama ini menjadi penjaga energi negeri.

Tags